Jumat, 01 Desember 2017

Novel 20 Januari

KEBENCIAN YANG TERAJUT
Utin Nanda Pratiwi


20 Januari 2019 sudah empat tahun sudah sejak kejadian itu, kejadian bahkan hingga mati pun tak akan mungkin terlupakan olehku. Setiap tahun sejak saat itu 20 Januari menjadi hari pahit bagiku, dimana aku kehilangan semua impian.
Rasa dingin menusuk tubuh ini yang telah berselimut kain tebal. Suara kokokan ayam membangunkanku dari tidur nyenyakku. Ku buka mata ini dan semuanya sama, dikeadaan tidur maupun tebangun gelap adalah temanku. Aku hanya bisa tersenyum sinis melihat semua ini, melihat dari kegelapan bahwa aku hanyalah sampah yang hanya merepotkan orang-orang disekitarku.
Terpenjara oleh dinding-dinding beton, teman-teman seumurku mungkin sekarang sudah bekerja atau kuliah, menjalani kehidupan normal dan mencari tujuan hidup mereka masing- masing. Sedangkan aku, jangankan tujuan hidup, mencari setitik cahaya saja tak bisa kulakukan.
“Karina, ada teman-temanmu ingin bertemu sayang.”Kata Ibu memanggilku sambil mengetuk pintu kamar.
Aku diam tak menjawab, sekarang dan empat tahun yang lalu aku tak pernah berubah. Setiap kali teman-temanku menjenguk aku selalu saja diam dan kadang aku menjerit menolak kedatangan mereka, terkadang pula aku melemparkan sesuatu kelantai untuk mengusir mereka.
“Pergi kalian, aku tidak butuh kalian. Walaupun aku menemui kalian, itu takkan mengubah apa yang aku lihat.” Itu yang sering aku katakan jika saja ada yang datang ingin bertemu denganku.
Cacat, aku ini cacat. Bagaimana bisa aku bergabung bersama mereka yang normal itu. Aku takut dibalik kegelapan yang menerpaku mereka menertawakanku dalam diam. Aku yang selalu nomor satu kini menjadi manusia yang benar-benar tidak diharapkan. Manusia yang kehilangan semua mimpi dan kesempatannya hanya demi laki-laki yang tidak pernah mengharapkanku.
Sore ini ku telusuri tiap dinding rumah menuju halaman belakang, dudukku dibangku bersantai menikmati suara-suara yang sudah bosan ku dengar. Terdengar suara Ibu dari belakang.
“Kau tidak bisa begini terus. Kau harus terima semua, jalani dengan ikhlas semua akan lebih ringan nantinya.” Kata Ibu membelai rambutku.
“Yah aku akan ikhlas jika aku mati.” Sahutku kemudian berjalan tergupuh-gupuh meraba tiap dinding beton yang dingin menuju kamar tidurku.
Aku pernah mencoba bunuh diri dengan menyelamkan diriku dikamar mandi dan menubrukan kepalaku kedinding, tapi itu tidak berhasil. Setiap aku mencoba selalu saja Ibu dan adikku bisa menghalangi. Aku benar-benar hancur, aku benar-benar rapuh.
Hari ini aku pergi ketaman atas paksaan Ibu dan adikku, mereka bilang aku butuh suasana baru yang lebih ramai dibandingkan kamar tidur yang pengap dan sepi. Duduku di bangku taman, ku dengarkan suara-suara yang asing ditelingaku. Suara-suara yang berbeda dari suara-suara yang ku dengar dirumah. Suara anak-anak tertawa girang, para remaja yang menyanyi bersama diiringi petikan gitar, suara jerit gadis-gadis yang bercanda gurau, suara-suara yang membuatku merasakan rasa iri yang sangat besar, yang membuatku semakin merasakan sakit, sakit karena aku berbeda.
Kembaliku kemasa lalu dimana aku masih sama seperti mereka, dimana aku bermain, bercanda bersama anak-anak sebayaku. Dimana mata ini masih bisa melihat rerumputan yang bergoyang, burung-burung yang terbang dan ombak yang menggulung ke tepi pantai.
Lamunanku terpecah ketika ku dengan suara yang sudah tak asing lagi bagiku. Suara yang terakhirku dengar empat tahun yang lalu.
“Hai, apa kabar?” Suara itu terdengar dari samping kiriku.
“Siapa kau?”Aku berbalik bertanya, memastikan bahwa dugaanku itu benar.
“Kevin, kamu udah lupa ya?”Sahutnya.
Aku hanya diam, aku menggeram. Aku berusaha mendengar suara Ibu dan adikku.
“Ibu, Kirana ayo kita pulang.”Jeritku berharap meraka segera datang dan aku bisa pergi meninggalkan laki-laki ini.
Tak ada jawaban, dimana mereka. Apakah mereka meninggalkanku? Apakah mereka berniat membuangku ditaman ini? Apakah mereka sudah lelah merawat sampah ini?
Aku pun berdiri dan berjalan menuju arah entah berantah, aku tak tahu kemana kaki ini melangkah, apa yang ada di depanku. Aku terus saja berjalan, yang ku fikirkan hanya menjauh dari laki-laki itu walau pada akhirnya aku harus merasakan tajamnya bebatuan taman di sekujur tubuhku.
“Kau tidak apa-apa.” Kata laki-laki itu lagi.
Aku merasakan tangan hangatnya memegang bahuku dan membantu untuk bangun. Aku menepis tangannya.
“Pergi.. Pergi.. Aku benci, aku sangat benci denganmu.”Teriakanku histeris.
Aku rasa aku menghadap kearah yang salah sehingga dia tahu bahwa aku buta.
“Karina, kau tidak apa-apa. Apa kau...” Belum selesai ia berbicara aku langsung saja memotong.
“Ya, aku buta. Sekarang pergi dari sini aku benci mendengar suaramu.”
Walau aku tak bisa melihat, aku tahu laki-laki itu masih berada didekatku. Aku mendengar suara dua telapak kaki mendekatiku.
“Karina, itu Kevin teman sekolah kamu dulu.”Kata Ibu menggandeng tanganku mendekati Kevin.
“Aku tidak peduli, aku ingin pulang.” Sahutku dan kemudian berjalan sendiri menuju ke tumpukan batu taman dan terjatuh lagi dengan kaki yang terkilir.
Ibu dan Kirana berteriak, mereka berusaha membantuku untuk bangun. Dan kemudian tubuh ini sudah berada digendongan laki-laki yang sangat aku benci itu. Aku meronta-ronta berusaha untuk lepas darinya, aku tak terkendalikan aku berteriak seperti orang gila yang benar-benar gila.
“Turunkan dia Kevin!”Perintah Ibu.
Aku pun terlepas darinya, tubuhku lemas, aku berdiri dengan gemetar.
“Paaaak!!”Suara tamparan yang mendarat di pipi kiriku.
Ibuku sudah tidak tahan lagi dengan sikapku yang selalu menghindar dari orang-orang.
“Bodoh! Apa kau kira dengan bersikap seperti ini kau bisa hidup dengan tenang. Berhenti bertingkah seperti ini. Mereka datang menyempatkan waktu mereka yang sibuk untuk bertemu denganmu. Dan tidak sekali pun kau mau menemui mereka. Kau memang buta Karina, tapi jangan kau buat hatimu buta pula. Bukan mereka yang membuat kau buta karena itu kau tidak punya alasan untuk membenci mereka.”Kata Ibu membentakku, ia mengeluarkan seluruh emosinya yang ia tahan sejak lama.
Tubuhku semakin lemas, aku shcok. Aku tak kuat lagi menahan beban, menahan trauma yang ku alami ini, aku pun roboh dan terlelap pingsan.
Terasa lembut angin pagi hari menerpa tubuh ini. Rasa dingin tak terasa lagi di tubuh karena tubuh ini telah berada dalam kehidupan yang lebih dingin dari udara pagi. Terlintas olehku kata-kata Ibu saat di taman beberapa hari yang lalu. Membenci? Memang bukan mereka yang menyebabkanku buta bu? Tapi sebelum aku buta mereka telah lebih dahulu membuat hatiku buta.
Mereka dengan manisnya datang kepadaku membawa semua keluh, beban dan kesusahan mereka. Dan aku dengan tangan terbuka menampung semua keluh, beban dan kesusahan mereka serta ikut merapikan benang-benang kusut milik mereka. Dan setelah benang-benang kusut mereka telah terpintal rapi, mereka pun pergi dan melupakanku. Meninggalkan bongkah-bongkahan cacian, sindiran dan hinaan. Tatapan sinis mereka selalu dilemparkan kearahku. Entah apa yang membuat mereka secepat itu berubah, entah apa yang membuat mereka begitu marah. Ada sebuah penyesalan menyesak dihatiku, mengapa dulu aku membantu mereka? Jika pada akhirnya aku akan di benci. Apa yang membuat mereka membenciku? Aku dengan tulusnya dan ikhlas memberikan butiran butiran bantuan dan ternyata mereka dengan bulusnya memeras bongkahan-bongkahan emas didiriku.
Aku begitu tertekan ketika memasuki pintu kelas mereka menatapku seakan aku ini seorang buronan, aku sangat tertekan ketika guru memberikan tugas kelompok aku selalu tersisihkan. Aku ada, tapi dimata mereka aku ini hanya tembok yang pantas mereka ludahi. Dan disaat mereka benar-benar membenciku dan berharap aku pergi dari hadapan mereka selamanya, dia datang mengulurkan tangannya kepadaku, dia tanam lagi bibit semangat dalam diriku. Hingga akhirnya dia pun pergi dariku dengan cara yang lebih pahit lagi dari mereka.
20 Januari 2015, hari ulang tahunnya yang ke-18. Dia rayakan hari kelahirannya itu dengan meriah. Pada hari itu aku benar-benar ingin tampil berbeda dimatanya, aku ingin semua perhatiannya ia curahkan padaku. Dress dan sepatu high heels membalut tubuhku, segala jenis alat make up melukis wajahku, sebuah pita kecil pemberiannya menghiasi rambutku. Aku dengan membawa sebuah kado yang kubungkus dengan rapi berjalan perlahan menapaki jalanan taman yang dibubuhi bebatuan hias yang cantik. Semua mata memandangku, bahkan mereka-mereka yang membenciku juga ikut memandangku walau tatapan mereka tidak berubah, sama dengan tatapan mereka yang kemarin, penuh dengan kebencian.
Langkahku pun terhenti, ketika ku melihat dia mendapatkan ciuman di pipi kirinya dari wanita yang benar-benarku kenal. Wanita yang menyebarkan berita-berita murahan yang menyebabkan ku dibenci oleh teman-temanku sendiri. 
“Karina.”Dia sebut namaku dengan lembut. Dia raih tangan wanita itu, Dia gandeng menuju kearahku.
Aku hanya diam, menunggu kata selanjutnya dari dia.
“Putri, dia pacarku.”Katamu memperkenalkan orang yang mungkin sampai mati pun takkan ku maafkan semua perbuatannya kepadaku.
“Kevin, selamat ulang tahun.”Kataku dengan nada yang sendu, menyerahkan kado yang kubawa untuknya.
Tanpa menunggu ucapan terimakasih dari Kevin, ataupun kata-kata yang lainnya aku pergi meninggalkan tempat itu. Setelah aku benar-benar tak terlihat lagi oleh Kevin aku pun berlari sekuat tenagaku.
Pikiranku kacau, apa maksud dari semua ini. Mengapa dengan tanpa bersalah ia kenalkan wanita lain sebagai kekasihnya. Lalu aku ini siapa? Kevin tak pernah ucapkan kata cinta kepadaku. Tapi bagaimana dengan ciuman yang sering kali dia lemparkan dibibirku. Bagaimana dengan kehangatan pelukkannya yang selalu menyelubungi tubuhku. Aku dipermainkan, entah siapa yang salah, dia yang memberikan harapan palsu atau aku yang terlalu berharap. 
Pikiranku benar-benar kacau sehingga aku tak sadar sebuah mobil sudah  berada dekat didepanku.  Tak sempatku menghindar, tubuh ini sudah terpental. Dan ketika ku sadar aku sudah berada dalam dunia yang gelap.
Aku tak henti-hentinya menerima lemparan masalah, kehilangan teman-teman yang mempercayaiku, dan kehilangan keperceyaanku kepada orang yang aku cintai. Aku merasa hidupku benar-benar dimanfaatkan, sekarang tinggal aku yang sudah benar-benar kering.
Mereka yang dulu mengunjingku merasa bersalah dan datang kepadaku membawa permintaan maaf dan rasa kasihan mereka kepadaku. Semua terlambat, aku benar-benar hancur. Aku masih ingat wajah sinis mereka menatapku dulu, aku masih ingat kata-kata ocehan mereka menghinaku. Menyalahkanku tanpa aku tahu apa yang membuatku salah. Dan aku yang tak akan terlupakan adalah dimana aku mulai sembuh dari keterpurukan, obat yang membuatku sembuh adalah racun bagiku. Kevin adalah kekasih Putri. Putri adalah orang yang sangat membenciku, dan Kevin datang kepadaku membawa harapan atas perintah Putri, agar aku benar-benar hancur, agar aku benar-benar tersakiti. Apa salahku danganmu Putri sehingga kau buat aku kehilangan semua mimpi? Dengan bibir manismu kau sebarkan fitnah basi, kau bisikan itu ketelinga semua orang. Kau jadikan aku kotoran yang amat buruk dimata orang-orang. Setelah 20 Januari 2015 aku benar-benar kehilangan kepercayaanku, kepercayaanku kepada semua orang dan kepada diriku sendiri. Aku mulai hidup dengan berbekal rasa dendam dan benci yang terajut yang membuat aku akan selalu tersiksa setiap saat.

Bersambung...