Rabu, 09 Agustus 2017

MAKALAH APLIKASI ETIK DALAM PERSALINAN

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Sesuai kewenangan yang diberikan kepada bidan oleh pemerintah dalam pelayanan intranatal, banyak tindakan mandiri yang dapat dilakukan bidan bagi kliennnya, sesuai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan. Aplikasi etika dalam pelayanan intranatal care, diantaranya:
Menerima pasien baru intranatal. Bidan memberikan layanan intrapartum sesuai dengan prinsip keadilan (justice), artinya adalah bidan melayani semua pasien dengan perlakuan yang sama, tidak memandang latar belakang agama, suku, ekonomi, tingkat sosial dan lain sebagainya. Hal tersebut berlaku dalam melakukan setiap tindakan yang diberikan kepada semua pasien yang ada.
Memberikan tindakan kapada pasien. Selain prinsip keadilan (justice), bidan juga menghargai kemandirian pasien dalam membuat keputusan terhadap tindakan yang akan diberikan kepadanya (otonomy), apakah pasien setuju atau tidak keputusan ada di tangan pasien, tentunya setelah mendapat penjelasan (informed consent dan informed choice) terlebih dahulu. Hal tersebut juga berlaku termasuk dalam pemilihan tempat bersalin/ tempat rujukan, petugas yang akan menanganinya, pendamping persalinan, posisi persalinan dan lain sebagainya. Dalam memberikan tindakan kepada pasien, bidan juga melakukannya sesuai hak dan kewajiban bidan/ pasien, kewenangan serta ilmu pengetahuan. Pelayanan yang diberikan berfokuskan pada kebutuhan dan keselamatan pasien.
Memberikan penjelasan dengan benar (veracity). Dalam setiap hasil pemeriksaan dan tindakan lanjut yang harus diambil oleh bidan sehubungan dengan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, sebelumnya bidan harus memberikan penjelasan dengan benar kepada pasien. Penjelasan tidak boleh dimanipulasi demi kepentingan sepihak, tetapi harus sesuai dengan yang ditemukan dalam pemeriksaan.
Menghargai kehidupan (Avoiding killing). Menjaga kerahasiaan (videlity). Seluruh hasil pemeriksaan yang dilakukan kepada pasien dan ditemukan oleh bidan adalah suatu kerahasiaan yang tidak boleh diinformasikan kepada orang lain, kecuali dalam hal kepentingan persidangan. Bidan dalam menjalankan tugasnya wajib mengutamakan kepentingan pasien.

1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud persalinan?
2. Apa yang di maksud etika?
3. Bagaimana aplikasi etik dalam pelayanan persalinan?

1.3. Tujuan
1. Agar pembaca memahami maksud dari persalinan.
2. Agar pembaca memahami maksud dari etika.
3. Agar pembaca memahami aplikasi etik dalam pelayanan persalinan.






BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau hampir cukup bulan dan dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lahir dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Manuaba, 1998:157).
Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang cukup bulan, lahir secara spontan dengan presentasi belakang kepala, di susul Dengan pengeluaran plasenta dan selaput ketuban dari tubuh ibu, tanpa komplikasi baik ibu dan janin.

2.2. Etika
Untuk dapat memahami mengenai aplikasi etika dalam pelayanan intranatal ,kita terlebih dahulu harus mengetahui apa itu etika dan bagaimanakah kode etik bidan. Etika diartikan “sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan peperasaan.
Etika merupakan bagian filosofis yang berhubungan erat dengan nilai manusia dalam menghargai suatu tindakan, apakah benar atau salah, dan penyelesaiannya baik atau tidak (Jones, 1994). Etik adalah aplikasi dari proses & teori filsafat moral terhadap kenyataan yg sebenarnya. Hal ini berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar & konsep yg membimbing makhluk hidup dalam berpikir & bertindak serta menekankan nilai-nilai mereka. (Shirley R Jones- Ethics in Midwifery)

2.3. Kode Etik Bidan
Secara umum kode etik tersebut berisi 7 bab yaitu:
Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)
Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggungjawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan menghormati nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya
Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan – tugasnya, dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)
Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.
Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau dipedukan sehubungan kepentingan klien.
Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir)
Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)
Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan dan meningkatkan kemampuan profesinya seuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenis yang dapat meningkatkan mute dan citra profesinya.
Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir)
Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air (2 butir)
Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan­ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan masyarakat.
Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk- meningkatkan mutu jangakauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
Penutup (1 butir)
Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari senantiasa menghayati dan mengamalkan Kode Etik Bidan Indonesia.

2.4. Hak dan kewajiban pasien
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien :
Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku dirumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan
Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi adil dan makmur.
Manusia berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.
Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.
Pasien berhak mendapat pendampingan suami selama proses persalinan berlangsung.
Pasien berhak atas “ prvacy ” dan kerahasian penyakit yang diderita termaksud data-data memedisnya.
Pasien berhak melihat rekam medic.

Kewajiban pasien adalah sebagai berikut :
Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.
Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter, bidan perawat yang merawatnya.
Pasien atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter , bidan dan perawat.
Pasien atau penanggungnya berkewajiban untuk memenuhi hal hal yang selalu disepakati atau perjanjian yang telah dibuatnya.

2.5. Aplikasi Etika dalam Pelayanan Intranatal
Aplikasi etika dalam pelayanan intranatal dapat dilukiskan melalui prinsip-prinsip etika, antara lain:
Menghargai otonomi
Melakukan tindakan yang benar(Beneficience)
Mencegah tindakan yang dapat merugikan.( Nonmaleficience)
Memberlakukan manusia dengan adil.( justice)
Menjelaskan dengan benar
Menepati janji yang telah disepakati
Menjaga kerahasiaan (Nonmaleficience dan beneficience)
Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip utama untuk tindakan profesional dan untuk menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan.

1. Otonomi
Otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu autos ( self atau diri sendiri ) dan nomos yang artinya aturan ( rule). Dengan demikian otonomi mengandung arti mengatur diri sendiri yaitu bebas dari kontrol pihak lain dan dari perbatasan pribadi.
Bidan harus menghormati otonomi pasien oleh karena itu kita mengenal yang namanya informed consent.
Persetujuan penting dari sudut pandang bidan, karena itu berkaitan dengan aspek hukum yang memberikan otoritas untuk semua prosedur yang dilakukan oleh bidan. Sedangkan pilihan (choice) lebih penting dari sudut pandang wanita (pasien)sebagai konsumen penerima jasa asuhan kebidanan. Tujuannya adalah untuk mendorong wanita memilih asuhannya. Peran bidan tidak hanya membuat asuhan dalam manajemen asuhan kebidanan tetapi juga menjamin bahwa hak wanita untuk memilih asuhan dan keinginannya terpenuhi. Hal ini sejalan dengan kode etik internasional bidan yang dinyatakan oleh ICM 1993, bahwa bidan harus menghormati hak wanita setelah mendapatkan penjelasan dan mendorong wanita untuk menerima tanggung jawab untuk hasil dari pilihannya.
Sebagaimana telah dijelasakan sebelumnya bahwa penting untuk memegang teguh segi etika , terutama hak pasien untuk mendapatkan manfaat dan  informasi sejujurnya. Pasien juga menolak tawaran tindakan.
Ada beberapa jenis pelayanan intranatal yang dapat dipilih oleh pasien yang juga merupakan apliksi dari pada etika ( menghargai otonomi pasien ), antara lain :
Tempat bersalin (rumah, polindes, RB, RSB, atau RS) dan kelas perawatan di RS
Masuk kamar bersalin pada tahap awal persalinan
Pendampingan waktu bersalin
Clisma dan cukur daerah pubis
Metode monitor denyut jantung janin
Percepatan persalinan
Diet selama proses persalinan
Mobilisasi selama proses persalinan
Pemakaian obat pengurang rasa sakit
Pemecahan ketuban secara rutin
Posisi ketika bersalin
Episiotomi
Penolong persalinan
Keterlibatan suami waktu bersalin, misalnya pemotongan tali pusat.

2. Beneficience dan Nonmaleficiene
Beneficience berarti berbuat baik. Ini adalah prinsip yang mengharuskan bidan untuk bertindak dengan menguntungkan pasien. Nonmaleficience berarti tidak merugikan pasien. Jika bidan tidak bisa berbuat baik kepada pasien atau melakukan tindakan yang menguntungkan pasien, paling tidak bidan tidak merugikan pasien .
Beneficience dan nonmaleficience merupakan keharusan untuk meningkatkan kesehatan klien dan tidak merugikannya. Hal ini sering bertentangan dengan otonomi. Sebagai contoh. Seorang klien melahirkan bayinya namun mengalami robekan jalan lahir. Oleh karena itu perlu dilakukan inspeksi khusus pada vulva, vagina dan serviks dengan menggunakan spekulum . Dan untuk tindakan selanjutnya semua sumber perdarahan harus diklem ,diikat, dan luka ditutup dengan penjahitan sampai perdarahan berhenti. Teknik penjahitan memerlukan rekan, anastesi lokal , dan penerangan yang cukup. Namun klien tidak ingin jika rekan bidan tersebut ikut membantu. Pertimbangan bidan yaitu perdarahan akan lebih parah jika tetap dibiarkan. Teman sejawat ataupun asisten perawat tentu dibutuhkan karena akan sulit jika melakukannya sendiri
Dalam hal ini bidan harus pandai membaca keadaan spiritual , psikologis klien, menenangkan klien, meminta bantuan keluarga ( misalnya suami) untuk menyakinkan klien ,dan memberi penjelasan pada klien dan keluarga akan tindakan yang akan dilakukan serta akibat buruk yang terjadi jika klien tetap mempertahankan egonya. Bidan harus menolak otonomi pasien demi mewujudkan beneficience dan nonmaleficience.

3. Justice
Justice atau keadilan merupakan prinsip yang sangat penting. Penting bagi bidan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia. Bidan memberikan pelayanan dengan kulalitas yang baik pada semua klien tanpa membedakannya.

4. Menjaga Kerahasiaan Klien
Berdasarkan Kode Etik Kebidanan salah satu kewajiban bidan terhadap tugasnya adalah setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang didapat dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan klien.

a. Langkah Pengambilan Keputusan Klinis.
Pada saat pasien datang pada bidan, maka yang pertama kali dilakukan bidan adalah melakukan pendekatan komunikasi terapeutik dengan ucapan salam, bersikap sopan, terbuka, dan siap melayani. Setelah terbina hubungan saling percaya, barulah bidan melakukan pengumpulan data (anamnesis) baik data subjektif dan data objektif.
Data yang dikumpulkan harus memenuhi kriteria :
- Data harus akurat
Data yang didapatkan dari pasien adalah sesuai kenyataan atau data sebenarnya, sehingga pada saat pengambilan keputusan klinik dapat tepat dan efektif.
- Kemampuan analisis
Bidan harus memiliki kemampuan analisis yang tinggi mengenai masalah, data subjektif, dan data objektif serta sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan klinik.
- Pengetahuan essensial
Pengetahuan essensial seorang bidan adalah semua pengetahuan yang berkaitan dan mendukung pelayanan bidan. Pengetahuan ini dapat berasal dari pendidikan formal, nonformal, dan dari membaca. Semakin banyak atau tinggi pengetahuan bidan tentang pelayanan kebidanan, maka peluang untuk mengambil keputusan yang tepat dalam pelayanan akan makin besar.
- Pengalaman yang relevan
Bidan sebaiknya memiliki pengalaman yang cukup dan relevan dengan bidang ilmu yang ditekuninya, sehingga tidak memiliki keraguan saat harus mengambil keputusan.
- Memiliki intuisi
Intuisi yang tinggi sangat diperlukan dalam proses pengambilan asuhan yang diberikan dan dalam penentuan masalah serta menentukan diagnosis. Dengan demikian, bidan dapat memberikan pelayanan yang cepat dan akurat.

b. Hak-Hak Klien pada Asuhan Sayang Ibu dan Bayi pada Persalinan
Memberi pelayanan kepada ibu dengan ramah dan penuh perhatian.
Memberikan semangat dan dukungan kepada ibu.
Meminta keluarga mendampingi ibu selama proses persalinan.
Memberi kesempatan bagi ibu untuk memilih posisi meneran yang diinginkan.
Memberi asupan nutrisi yang cukup bagi ibu, seperti makan dan minum di setiap proses persalinan.
Melakukan rawat gabung ibu dan bayinya.
Membimbing ibu untuk memeluk bayinya dan sesegera mungkin memberikan Air Susu Ibu (ASI), diupayakan pemberiannya dilakukan kurang dari 1 jam atau disebut Iniasiasi Menyusu Dini (IMD).
Memantau kondisi ibu dan janin setelah melahirkan.
Memberikan asupan nutrisi setelah melahirkan.
Menganjurkan ibu untuk beristirahat setelah melahirkan.
Mengajarkan ibu dan keluarga atau suami mengenali tanda dan gejala bahaya yang mungkin terjadi.
Mengajarkan ibu, keluarga, dan suami cara untuk mencari pertolongan di saat terjadi hal yang berbahaya.
Selama persalinan normal, intervensi hanya dilaksanakan jika benar-benar dibutuhkan yaitu jika ada infeksi dan penyulit.
Obat-obat essensial, bahan dan perlengkapan harus tersedia oleh petugas dan keluarga.

c. Pencatatan (Dokumentasi)
Pada setiap pelayanan atau asuhan, harus selalu memperhatikan pencatatan atau dokumentasi. Manfaat dokumentasi sebagai berikut :
Aspek legal atau landasan hukum bagi bidan dalam pelayannya.
Aspek manajemen, dokumentasi dapat mengidentifikasi mutu pelayanan seorang bidan dan juga untuk mengatur kebutuhan saran yang perlu dipersiapkan seorang bidan pada saat praktik.
Aspek pembelajaran, dokumentasi merupakan asset yang sangat berharga bagi bidan dalam pelayanannya karena data sebelumnya yang sudah didokumentasikan dapat dipakai sebagi referensi atau acuan saat mengahadapi masalah atau kasus yang mungkin sama dan pernah dihadapi.

Dokumentasi dapat berupa SOAP atau menggunakan manajamen asuhan kebidanan yang lain. Namun dalam persalinan, dokumentasi yang digunakan adalah partograf.
Hal-hal yang perlu diingat oleh seorang bidan mengenai dokumentasi adalah:
Catat semua data: hasil pengumpulan data, pemeriksaan, diagnosis, obat-obatan yang diberikan, serta semua asuhan yang diberikan pada ibu dan bayi.
Jika tidak dicatat, dapat dianggap bahwa asuhan tersebut tidak dilakukan.
Pastikan setiap partograf telah diisi dengan lengkap, benar, dan tepat waktu, serta sebelum persalinan dan sesudah persalinan berlangsung.

d. Penilaian Klinik
Kala I
1) Pengkajian awal
Apabila seorang ibu hendak melahirkan, pengkajian awal perlu dilakukan untuk menetukan apakah persalinan sudah pada waktunya, apakah kondisi ibu dan bayinya normal, yaitu dengan
a) Lihat
Tanda-tanda perdarahan, mekoneum, atau bagian organ yang lahir, tanda bekas operasi sesar terdahulu, ibu yang warna kulitnya kuning atau kepucatan.
b) Tanya
Kapan tanggal perkiraan kelahiran, menentukan ibu sudah waktunya melahirkan atau belum.
c) Periksa
Tanda-tanda penting untuk hipertensi dan detak jantung janin untuk bradikardi.
Setelah dilakukan penilaian persalinan cepat, dan tidak ditemukan masalah maka boleh dilakukan pengkajian ibu bersalin secara lengkap.

2) Pemantauan
Selama persalinan berlangsung perlu pemantauan kondisi kesehatan ibu maupun bayinya. Hasil pemantuan dicatat dalam partograf.
a) Kemajuan persalinan
His/kontraksi: frekuensi, lama, dan kekuatan dikontrol ½ jam sekali pada fase aktif.
Pemeriksaan dalam: pembukaan, penipisan, penurunan bagian terendah, molase dikontrol setiap 4 jam.
Pemeriksaan abdomen/luar dikontrol setiap 2 jam pada fase aktif.
Kemajuan persalinan normal sesuai dengan partograf.
b) Keadaan ibu
Tanda vital, status kandung kemih dan pemberian makanan/minuman. Tekanan darah dikontrol setiap 4 jam. Selain itu, perubahan perilaku seperti dehidrasi/lemah, kebutuhan akan dukungan.
c) Keadaan janin
Pemeriksaan denyut jantung janin setiap ½ jam pada fase aktif.
Jika selaput ketuban pecah, maka dilakukan pemeriksaan warna, kepekatan, jumlah dan molase.

3) Penanganan
Menghadirkan orang yang dianggap penting oleh ibu seperti suami, keluarga pasien atau teman dekat.
Mengatur aktivitas sesuai dengan kesanggupannya dan posisi ibu.
Membimbing ibu untuk rileks sewaktu ada his.
Menjaga privasi ibu.
Penjelasan tentang kemajuan persalinan.
Menjaga kebersihan diri.
Mengatasi rasa panas.
Massase.
Pemberian cukup minum
Mempertahankan kandung kemih tetap kosong.
Sentuhan.

4) Rujukan
Diharapkan dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat yang memiliki kemampuan menangani kegawatdaruratan obstetrik dengan melibatkan kelurga dalam pengambilan keputusan yang cepat dan tepat.

Kala II
1) Pemantauan
Pemantauan dicatat pada partograf dan dilakukan pada :
Kemajuan persalinan Tenaga atau usaha mengedan dan kontraksi uterus ibu.
Kondisi Janin, periksa DJJ setiap 15 detik, penurunan presentasi dan posisi serta warna cairan yang keluar dari jalan lahir.
Kondisi ibu, periksa tanda-tanda vital (nadi dan tekanan darah setiap 30 menit) dan respon keseluruhan pada kala II.

2) Diagnosis
Persalinan Kala II ditegakkan dengan melakukan penmeriksaan dalam untuk memastikan pembukaan lengkap.
Bila kala II berjalan baik maka ada kemajuan penurunan kepala bayi.
Bila tidak diperlukan kondisi kegawatdaruratan maka segera persiapkan rujukan.

3) Penanganan
Memberikan dukungan terus menerus kepada ibu.
Menjaga kebersihan diri.
Mengipasi dan massase.
Memberikan dukungan mental.
Mengatur posisi ibu.
Menjaga kandung kemih kosong.
Memberikan cukup minum
Memimpin mengejan selama his dan istirahat bila tidak ada his.
Bernafas selama persalinan.
Memantau denyut jantung janin.
Melahirkan bayi : menolong kepala, periksa tali pusat, melahirkan bahu dan anggota tubuh lainnya.
Melakukan penilaian bayi baru lahir.
Mengeringkan bayi sambil melakukan rangsangan taktil
Melakukan IMD dengan prinsip skin to skin yang ditutupi handuk atau kain kering dan hangat.

Kala III
1) Pengkajian Awal/Segera
Palpasi uterus untuk menentukan apakah ada bayi yang kedua.
Menilai apakah bayi lahir dalam keadaan stabil
Bila tidak lakukan rawat bayi segera.

2)Diagnosis
Kehamilan dengan janin normal tunggal.
Bayi normal.
Bayi dengan penyulit segera lakukan rujukan.

3) Penanganan
Manajemen Aktif kala III
Jepit dan gunting tali pusat.
Memberikan oksitosin segera secara IM 10 IU.
Melakukan penegangan tali pusat terkendali atau PTT/CCT (Controled Cord Traction)
Melakukan massase fundus uteri

Kala IV
1) Pemantauan
Melakukan pemeriksaan
Fundus kontraksi atau tidak, berada di atau di bawah umbilicus.
Kelengkapan plasenta
Selaput ketuban.
Memperkirakan pengeluaran darah.
Lokhea.
Kandung kemih.
Kondisi ibu.
Kondisi bayi baru lahir.

2) Diagnosis
Involusi normal.
Kala IV dengan penyulit segera rujuk.

3) Penanganan
Ikat tali pusat.
Pemeriksaan fundus dan massase uterus.c)Nutrisi dan hidrasi.
Bersihkan ibu.
Istirahat.
Memulai menyusui.
Menolong ibu ke kamar mandi.
Mengajari ibu dan anggota keluarga memeriksa fundus, massase uterus dan tanda-tanda bahaya bagi ibu dan bayi.






BAB III
PENUTUP


3.1. KESIMPULAN
Jadi, dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa seorang bidan harus senantiasa mengaplikasikan atau menerapkan etik dalam memberikan pelayanan kebidanan. Dengan menerapkan etik dalam memberikan pelayanannya maka bidan dapat menyelesaikan masalahnya sebagaimana mestinya. Bidan juga akan mendapatkan banyak keuntungan dari penerapan etik ini meliputi mendapatkan kepercayaan dari klien, meningkatnya profesionalitas sebagai bidan, memperkecil resiko dalam pertolongan persalinan dan pelayanan kebidanan lainnya, terhindar dari penyimpangan etik dan meningkatnya citra bidan Indonesia.

3.2. SARAN
Untuk meningkatkan profesionalitas dan citra bidan maka bidan Indonesia harus terus meningkatkan pengetahuannya, selalu ingat akan wewenang yang telah tertera jelas pada Permenkes 1464/Menkes/Per/X/2010, dan juga selalu mengutamakan kepentingan dan keselamatan klien, bidan juga harus selalu menghargai hak klien dan menjalankan kewajiban nya kepada klien. Dengan begitu maka bidan Indonesia akan mengalami kemajuan dari sistem pelayanan dan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap bidan.





DAFTAR PUSTAKA


Heni Puji Wahyuningsih. 2009. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya.
Ikatan Bidan Indonesia. 2002. Kode Etik Kebidanan. Bandung: Pengurus Daerah IBI Wilayah Jabar.
Nurasiah, Ai. 2014. Asuhan Persalinan Normal Bagi Bidan. Bandung: PT Refika Aditama.
Permenkes RI Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Waspodo, D. 2004. Pelatihan Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: Depkes RI.
Wildan, Moh dan Hidayat, a. Aziz Almat. 2009. Dokumentasi Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.

Jumat, 04 Agustus 2017

Makalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia Oleh Orang Tua Kepada Anak



BAB 1
PENDAHULUAN


1.1.       Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar nomor empat di dunia. Dengan populasi penduduk yang besar, maka banyak pula permasalahan sosial yang di hadapi Indonesia. Salah satunya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang marak terjadi akhir-akhir ini.
Masalah HAM ini tidak dapat di anggap sepele. Pelanggaran terhadap HAM merupakan kejahatan yang sudah diakui oleh organisasi dunia seperti PBB dan UNICEF sebagai kejahatan yang marak terjedi di dunia dan diusahakan pemberantasannya. Bukan hanya itu, di Indonesia juga sudah secara tegas melarang tindak pelanggaran HAM dalam Pancasila sila kedua dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28 J, Pasal 29, Pasal, 30 ayat 1, Pasal 31, Pasal 32 ayat 1, Pasal 34, dan Pasal 34.
Dengan adanya aturan-aturan yang sudah tegas baik yang tersirat dalam Pancasila sila kedua dan tertulis pada Undang-Undang Dasar 1945, sewajarnya rakyat Indonesia harus taat dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Akan tetapi hal itu sulit untuk diwujudkan, karena masih saja pelanggaran HAM terjadi baik di lingkungan sosial masyarakat, sekolah bahkan keluarga. Pelanggaran HAM yang dilakukan pun bermacam-macam seperti pembunuhan, penyiksaan, penganiayaan, perbudakan, pencemaran nama baik dan menghalangi seseorang untuk menyampaikan aspirasi.
Seperti yang telah dijelaskan di atas pelanggaran HAM dapat terjadi dimana saja dan di ruang lingkup apa saja bahkan ruang lingkup keluarga. Padahal jika di lihat dari konteksnya, keluarga merupakan kerabat dekat yang dapat di percaya dan sewajarnya saling melindungi. Tapi kenyataannya banyak kejadian pelanggaran HAM terjadi di lingkungan keluarga baik antar orang tua, antar saudara, antar orang tua dan anak, dan antar anggota keluarga lainnya.
Pelanggaran HAM antar orang tua biasanya dalam bentuk KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Sedangkan antar saudara berupa pembunuhan, penganiayaan, dan pencemaran nama baik. Dan antar orang tua dan anak pelanggaran HAM yang sering terjadi adalah penganiayaan, penyiksaan, bahkan pembunuhan.
Karya tulis ini akan berpusat pada pelanggaran HAM oleh orang tua kepada anak. Hal ini tidak lazim dilakukan tapi lazim terjadi. Anak-anak seharusnya mendapatkan pedidikan dari orang tua secara manusiawi, kasih sayang dan perhatian. Tapi nyatanya masih banyak anak yang mendapatkan kekerasan baik fisik maupun mental yang bahkan berakhir sampai menuju maut.
Pada tahun 2016 di Tanggerang contohnya seorang ibu tiri membunuh anaknya yang berusia tujuh tahun dikediamannya. Di Bekasi  seorang ibu muda dengan sengaja melempar bayinya dari atas atap Bekasi Junction yang berakhir kematian pada sang bayi. Sedangkan di Makassar seorang ayah membanting anaknya yang berusia 4 tahun hingga tewas. Dan ada juga kasus yang sempat menjadi viral di media sosial Indonesia bahkan menjadi sorotan dunia pada tahun 2015 yaitu kasus pembunuhan Angeline di Bali oleh ibu angkatnya. Kasus kekerasan ini bukanlah permasalahan baru, sudah sejak lama tindak kekerasan terhadap orang tua terjadi contohnya pada tahun 1984 kasus penganiayaan yang berakhir kematian pada Arie Anggara yang pelakunya adalah ibu kandung sendiri.
Setiap tahun angka kekerasan terhadap anak mecapai 3.700 dan rata-rata terjadi 15 kasus perhari dengan sekitar 70% pelakunya adalah orang tua mereka sendiri. Jadi sangat pantas jika Indonesia saat ini disebut sedang krisis kekerasan terhadap anak.
Oleh kerena itu mari kita cegah dan berantas kekerasan terhadap anak di Indonesia dengan meningkatkan pemahaman akan Hak Asasi Manusia (HAM) dimulai dari keluarga, karena jika keluarga adalah tersangka lalu siapa yang melindungi, jika keluarga bukan tempat aman lalu apakah anak akan selalu terancam? Dan apakah Indonesia bisa sejahtera sedangkan penerusnya kehilangan hak asasinya?

1.2.       Rumusan Masalah
a.    Apa pengertian dari HAM?
b.    Apa saja macam-macam HAM
c.    Apa pengertian dari pelanggaran HAM?
d.   Apa saja macam-macam pelanggaran HAM?
e.    Apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM oleh orang tua kepada anak di lingkungan keluarga?
f.     Apa saja macam-macam pelanggaran HAM oleh orang tua kepada anak di lingkungan keluarga?
g.    Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran HAM oleh orang tua kepada anak di lingkungan keluarga?
h.    Apa saja upaya dalam menanggulangi pelanggaran HAM oleh orang tua kapada anak di lingkungan keluarga?
i.      Apa saja undang-undang yang mengatur hak asasi anak di Indonesia?
j.      Apa saja sanksi-sanksi pelaku hak asasi anak di Indonesia?
k.    Apa saja hambatan dalam pemberantasan pelanggaran HAM oleh orang tua kepada anak di lingkungan keluarga?

1.3.       Tujuan
a.    Agar pembaca memahami pengertian dari HAM.
b.    Agar pembaca memahami macam-macam dari HAM.
c.    Agar pembaca memahami pengertian dari pelanggaran HAM.
d.   Agar pembaca memahami macam-macam dari pelanggaran HAM.
e.    Agar pembaca memahami maksud dari pelanggaran HAM oleh orang tua kepada anak di lingkungan keluarga.
f.     Agar pembaca memahami macam-macam pelanggaran HAM oleh orang tua kepada anak di lingkungan keluarga.
g.    Agar pembaca memahami faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran HAM oleh orang tua kepada anak di lingkungan keluarga.
h.    Agar pembaca memahami upaya dalam menanggulangi pelanggaran HAM oleh orang tua kapada anak di lingkungan keluarga.
i.      Agar pembaca memahami undang-undang yang mengatur hak asasi anak di Indonesia.
j.      Agar pembaca memahami sanksi-sanksi pelaku hak asasi anak di Indonesia.
k.    Agar pembaca memahami hambatan dalam pemberantasan pelanggaran HAM oleh orang tua kepada anak di lingkungan keluarga.

1.4.       Manfaat
a.    Meningkatnya pemahaman masyarakat akan Hak Asasi Manusia.
b.    Meningkatnya pemahanan orang tua akan Hak Asasi Anak.
c.    Mencegah semakin meningkatnya kekerasan anak di lingkungan keluarga.
d.   Mengurangi meningkatnya kekerasan anak di lingkungan keluarga.
e.    Meningkatnya pemahaman-pemahaman masyarakat akan Undang-Undang yang mengatur HAM.
f.     Memperbaiki Hak Asasi Manusia di Indonesia.







BAB II
PEMBAHASAN


2.1.       Pengertian HAM
HAM pada dasarnya adalah hak-hak alamiah pada diri manusia yang merupakan hadiah dari Tuhan sejak lahir. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU NO. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
HAM adalah hak-hak dasar yang memiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002). Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Right, United Nation sebagaimana dikutip Baharudin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagaimana manusia. John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yabg diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Tap MPR No. XVII/MPR/1988, bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrat, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. David Beetham dan Kevin Boyle HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental adalah hak-hak individual yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan serta kapasitas-kapasitas manusia.
C. de Rover HAM adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki ataupun permpuan. Hak-hak tersbut mungkin saja dilaggar, tetapi tidak pernah dapat dihapuskan. Hak asasi merupakan hak hukum, ini berarti bahwa hak-hak tersebut merupakan hukum. Hak asasi manusia manusia dilindungi oleh konstitusi dan hukum nasional di banyak negara di dunia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, Hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Hak asasi manusia bersifat universal dan abadi.
Austin-Ranney HAM adalah ruang kebebasan individu yang dirumuskan secara jelas dalam konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah. A.J.M. Milne HAM adalah hak yang dimiliki oleh semua umat manusia disegala masa dan disegala tempat karena keutaman keberadaannya sebagai manusia. Franz Magnis-Suseno HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat. Jadi, bukan karena hukum positif yang berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia.
Miriam Budiardjo membatasi pengertian hak-hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat. Oemar Seno Adji yang dimaksud dengan hak asasi manusia ialah hak yang melekat  pada martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun, dan yang seolah-olah merupakan suatu holy area.
Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas ciri pokok hakikat HAM yaitu :
1)             HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
2)             HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik, atau asal usul sosial dan bangsa.
3)             HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003)

2.2.       Macam-Macam HAM
2.2.1. Hak Asasi Pribadi (Personal Rights)
Hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan pribadi manusia. Contoh hak-hak asasi pribadi ini sebagai berikut.
a)    Hak kebebasan untuk bergerak, berpergian, dan berpindah-pindah tempat.
b)   Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat.
c)    Hak kebebasan memilih dan aktif dalam organisasi atau perkumpulan.
d)   Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing.

2.2.2. Hak Asasi Politik (Political Rights)
Hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan politik. Contoh hak-hak asasi politik ini sebagai berikut.
a)    Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan.
b)   Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan.
c)    Hak membuat dan mendirikan partai politik serta organisasi politik lainnya.
d)   Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi.

2.2.3. Hak Asasi Hukum (Legal Equality Rights)
Hak kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah, yaitu hak yang berkaitan dengan kehidupan hukum dan pemerintah. Contoh hak-hak asasi hukum sebagai berikut.
a)    Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintah.
b)   Hak untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
c)    Hak mendapatkan layanan dan perlindungi hukum.

2.2.4. Hak Asasi Ekonomi (Property Rights)
Hak yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian. Contoh hak-hak asasi ekonomi ini sebagai berikut.
a)    Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli.
b)   Hak kebebasan mengadakan perjannjian kotrak.
c)    Hak kebebasan menyelanggarakan sewa menyewa dan utang piutang.
d)   Hak kebebasan untuk memiliki sesuatu.
e)    Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaaan yang layak.

2.2.5. Hak Asasi Peradilan (Procedural Rights)
Hak untuk diperlakukan sama dalam tata cara pengadilan. Contoh hak-hak asasi peradilan ini sebagai berikut.
a)    Hak mendapatkan pembelaan hukum di pengadilan.
b)   Hak persamaan atas perlakuan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan penyelidikan di muka hukum.

2.2.6. Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Rights)
Hak yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dengan kehidupan bermasyarakat. Contoh hak-hak asasi sosial budaya ini sebagai berikut.
a)    Hak menentukan, memilih, dan mendapatkan pendidikan.
b)   Hak mendapatkan pengajaran.
c)    Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat.

2.3.       Pengertian Pelanggaran HAM
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasrkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.

2.4.       Macam-Macam Pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM dikatagorikan dalam dua jenis yaitu :
a.              Kasus pelanggaran HAM berat yang bersifat berat, meliputi :
1)   Pembunuhan Masal (Genosida)
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindak kekerasan (UUD No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM).
2)   Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang ditunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk  secara paksa, pembunuhan, penyiksaan, perbudakan dan lain-lain.

b.             Kasus pelanggaran HAM  yang biasa, meliputi :
1)   Pemukulan.
2)   Penganiayaan.
3)   Pencemaran nama baik.
4)   Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya.
5)   Menghilangkan nyawa orang lain.

2.5.       Pelanggaran HAM oleh Orang Tua Kepada Anak
2.5.1. Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak adalah segala tindakan baik disengaja maupun tidak disengaja yang dapat merusak anak baik berupa serangan fisik, mental, sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Menurut Susanto kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan / otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orang tua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian.
Sedangkan menurut Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental, kekerasan pada anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan baik secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual, penelataran, eksploitasi komersial/eksploitasi lainyang mengakibatkan cedera atau kerugian nyata maupun potensial terhadap lesehatan anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab kepercayaan dan kekuasaan.
Menurut WHO kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman, dan tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikolagis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.

2.5.2. Perhatian Orang Tua Kepada Anak
Perhatian orang tua adalah pemusatan tenaga psikis tertuju pada objek tertentu (Suryabrata, 2004:14). Sedangkan pendapat lain mengemukakan bahwa perhatian merupakan permusatan atau konsentrasi yang ditujukan kepada sesuatu atau objek (Walgito, 1990:56). Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perhatian orang tua adalah kesadaran jiwa orang tua untuk memperdulikan anaknya, terutama dalam memberikan dan memenuhi kebutuhan anaknya baik dalam segi emosi maupun materi.

2.5.3. Ekploitasi Anak
Eksploitasi anak adalah tindakan sewenang-wenang dan perlakuan yang bersifat deiskriminatif terhadap anak yang dilakukan oleh masyarakat ataupun keluarga dengan tujuan memaksa anak tersebut untuk melakukan sesuatu tanpa memperhatikan hak anak seperti perkembangan fisik dan mentalnya. Eksploitasi anak dibawah umur berarti mengeksploitasi anak untuk melakukan tindakan yang menguntungkan pada segi ekonomi, sosial maupun politik tanpa memandang umur anak yang statusnya masih hidup dimasa kanak-kanak (kurang dari 17 tahun).
Eksploitasi anak secara ekonomi adalah pemanfatan anak-anak secara tidak etis demi mendapatkan keuntungan secara ekonomi baik berupa uang ataupun yang setera dengan uang (Martaja: 2005).

2.5.4. Kekerasan Seksual Pada Anak
Kekerasan terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak dimana orang dewasa atau orang tua menggunakan anak untuk ransangan seksual (U.S Natiional Library of Medicine: 2008). Bentuk pelecehan seksual anak termasuk menekan atau meminta seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberi paparan yang tidak senonoh dari alamat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual kepada anak-anak, kontak fisik dengan alat kalimat anak (kecuali dalam kontek non seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), dan menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak (Martin dkk: 1993 hlm. 92).
Pelecehan seksual oleh anggota keluarga adalah bentuk inses, dan dapat menghasilkan dampak yang lebih serius dan trauma psikologis jangka panjang, terutama dalam kasus inses orang tua (Courtois: 1988 hlm. 208).

2.5.5. Komunikasi Orang Tua Kepada Anak
Dalam kesibukan kerja dan aktifitas dari orang tua kadang mengakibatkan kurangnya komunikasi antar orang tua dengan sang anak. Terkadang orang tua akan sedikit lalai dalam memperhatikan sang anak karena kesibukannya. Dengan membangunkan komunikasi efektif maka akan menghindari kesalah pahaman atau kecurigaan dan stigma yang kadang kala menjadi pemicu pertengkaran.

2.6.       Macam-Macam Pelanggaran HAM oleh Orang Tua Kepada Anak
2.6.1. Kekerasan Secara Fisik (Physical Abuse)
Kekerasan fisik (Physical Abuse) adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat benda panas atau pola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan didaerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umunya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak sukai orang tuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.

2.6.2. Kekerasan Emosional (Emosional Abuse)
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu waktu itu. Ia boleh juga mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi anak akan mengingat kekerasan emosional jika kekersan emosional berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus menerus melakukan hal sama sepanjang hidup anak itu.

2.6.3. Kekerasan Secara Verba (Verba Abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakaukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambing hitamkan.

2.6.4. Kekerasan Seksual (Sexsual Abuse)
Sexsual abuse meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga (seperti orang tua, saudara, kerabat dekat, pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.

2.6.5. Kekerasan Anak Secara Sosial
Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelataran anak dan eksploitasi anak. Penelataran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh memaksan anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah atau tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angka senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.

2.7.       Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Pelanggaran HAM Oleh Orang Tua Kepada Anak
Beberapa faktor yang memicu kekerasan anak di lingkungan kelurga menurut Komnas Perlindungan Anak antara lain:
a)             Pewarisan Kekerasan Anatar Generasi (Intergenerational Transmission of Violance)
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dar orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (tranmited) dari generasi ke generasi.

b)             Sterss Sosial (Social Stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan resiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing coundition), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a large than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) dirumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemisikinan.
Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak diantara keluarga miskin karena beberapa alasan.

c)             Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyakarta Bawah
Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orang tua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.

d)            Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orang tua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orang tua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga dimana baik suami maupun istri mendominasi di dalam membuat keputusan seperti dimana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami istrinya sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.

2.8.       Upaya Dalam Menanggulangi Pelanggaran HAM Oleh Orang Tua Kapada Anak
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak oleh orang tua yaitu:
a)             Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Cukup
Tindak kekerasan terhadap anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu hentikan tindak kekerasan tersebut, dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.

b)             Keluarga yang Hangat dan Demokratis
Dalam sebuah R Study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal dirumah yang orang tuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal dirumah orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dang menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakannya, memberikan kesempatan anak untuk mengambil keputusn, berdialog dan diskusi hasilnya rata-rata IQ (bahkan kecerdasan emosi) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point. Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63% dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen (nakal), berasal dari keluarga yang tidak utuh (broken home). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig (Jerman) menyatakan bahwa 70,8% dari anak-anak yang sulit dididik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh, atau mengalami tekanan hidupyang terlampau berat.

c)             Membangun Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangaka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Untuk menghindari kekerasan terhadap anak maka diperlukan anggota keluarga yang saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif.

d)            Mengintegrasikan isuh hak anak kedalam peraturan perundang-undangan, kebijakan program dan kegiatan sampai dengan penganggaran sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi sehingga menjadi resposive terhadap hak anak.

2.9.       Undang-Undang yang Mengatur Hak Asasi Anak di Indonesia
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan anak yang terdiri dari:
a)             UUD 1945 Pasal 28B ayat (2), “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi.”
b)             UUD 1945 Pasal 31 ayat (1), “... tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
c)             UUD 1945 Pasal 31 ayat (2), “... Pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar.”
d)            Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
·      Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasan Konvensi Hak-Hak Anak.
·      Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar tetap hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejatera.
·       Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
·      Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sabagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
·      Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang lain.
·      Pasal 7
1.    Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2.    Dalam hal karena sesuatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·      Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
·      Pasal 9
1.    Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
2.    Selain hak anak yang dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
·      Pasal 10
Setiap anak berhak memnyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
·      Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, bereaksi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
·      Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejateraan sosial.
·      Pasal 13
1.    Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan.
2.    Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka pelaku dikenakan hukuman berat.
·      Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah yang menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
e)             Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
f)              Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2014 tantang Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Anak dan Perempuan dalam Konflik Sosial.
g)             Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2014

2.10.   Sanksi-Sanksi Pelaku Hak Asasi Anak di Indonesia
Di dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak dijerat hukuman maksimal kurungan selama 15 tahun. Dan apabila pelaku adalah orang yang dekat dengan anak, seperti orang tua, saudara ataupun kerabat, hukuman ditambah sepertiga waktu hukaman asli sehingga total waktu kurungan 20 tahun penjara.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan hukuman penjara maksimal 15 tahun minimal 5 tahun penjara untuk perbudakan wanita atau anka termasuk perdagangan, hukuman maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara untuk pemerkosaan, perbudakan sesual pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, dan penghilangan orang secara paksa.
2.11.   Hambatan Dalam Pemberantasan Pelanggaran HAM oleh Orang Tua Kepada Anak
Mambatan-hambatan dalam pemberantasan HAM oleh orang tua kepada anak meliputi :
a)             Karena terjadi diruang lingkup keluarga maka sulit untuk dipantau oleh orang luar.
b)             Kebanyakan dari keluarga korban menutupi kasus karena anggap aib.
c)             Para korban enggan melapor dengan alasan memperoleh ancaman dari pelaku.
d)            Kasus baru akan terungkap setelah jatuh korban banyak dan korban sudah mengalami dampak ekstream dari pelanggaran HAM.
e)             Pelaku sangat pandai menutupi kesalahannya dengan berbagai cara.
f)              Pendidikan orang tua yang kurang mempuni.
g)             Lingkungan sosial yang tidak mendukung.
h)             Lingkungan keluarga yang acuh tak acuh.




BAB III
PENUTUPAN


3.1.       Kesimpulan
Dari paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa.
1.    HAM pada dasarnya adalah hak-hak alamiah pada diri manusia yang merupakan hadiah dari Tuhan sejak lahir.
2.    HAM memiliki ciri-ciri HAM tidak perlu diberikan, HAM tidak bisa dilanggar, HAM berlaku untuk semua orang.
3.    HAM terdiri atas Hak Asasi Pribadi (Personal Rights), Hak Asasi Politik (Political Rights), Hak Asasi Hukum (Legal Equality Rights), Hak Asasi Ekonomi (Property Rights), Hak Asasi Peradilan (Procedural Rights), Hak Asasi Sosial Budaya (Social Culture Rights).
4.      Pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.
5.    Pelanggaran HAM terdiri atas kasus pelanggaran HAM berat, kasus pelanggaran HAM ringan.
6.    Kekerasan Anak dapat dihindari dengan komunikasi yang efektif dengan anak.
7.    Pendidikan orang tua sangat berpengaruh pada tindak kekerasan terhadap anak.
8.    Hambatan dalam pemberantasan timbul akibat terjadi di lingkungan keluarga yang tertutup.
9.    Indonesia sudah secara tegas melarang dan memberantas pelanggaran HAM pada anak dengan mengerluarkan UU dan mencantumkannya secara tesirat di Pancasila Sila ke-2 dan UUD 1945.



DAFTAR PUSTAKA


Abu, Huraerah. 2006. Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta: Nuansa Emmy.
Ahmad, Ubaidallah, Dkk. 2000. Demokrasi, HAM, Dan Masyarakat Madani. Jakarta: KCE UIN Syarif Hidayahtullah.
Bimo Walgito, 2005. Bimbingan dan Konseling. Yogyakarta : Andi Offset
Courtois, Christine A. 1988. Healing The Incest Wount Adult Survivors In therapy. New York: Norton.
Drs. S. Sumarsono, Dkk. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan. Daerah: Tanpa Nama Penerbit.
Effendi, A. Mansyur. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan, 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Mahffudin, Moch Fuad. 2013. Kasus Pelanggaran HAM Di Indonesia. Lamongan: Universitas Islami Lamongan.
Martin J, Dkk. 1993. Child Abuse & Neglect.
Prof. Dr. H. Zainudin Ali, M.A. 2006. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Sadjidman, Djunaedi. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Daerah: Tanpa Nama Penerbit.
Soekresno. 2007. Mengenali dan Mencegah Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Anak.
Sumadi Suryabrata. 2000. Psikologi Pendidikan (Suatu Penyajian Secara Operasional). Yogyakarta : Rake Press.
UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak www.hukumonline.com
Wahidin. 2008. Makalah Pendidikan Kewarnegaraan Tentang Hak Asasi Manusia.